Melihat tatapan itu lagi walaupun
bukan dengan hubungan seperti dulu, aku tetap merasakan ini. Perasaan yang tak
pernah berubah, yaitu rindu. Seperti menemukan rumahnya hatiku tak kuasa
menahan segala kerinduannya, begitu cepat meluap sehingga aku tak kuasa menahan
segala emosiku yang membuncah ingin keluar.
Tengah hari ini, dibawah teriknya
sang surya bintang semesta siang hari itu. Aku mellihat tatapan teduhmu lagi.
Bahagia? Ya...aku tak bisa membohongi diriku sendiri bukan? Bahkan kalau aku
memaksa untuk mencoba menipu, orang buta sekalipun dapat mengetahui kalau aku
berbohong. Aku terlalu bodoh untuk berbohong, apalagi tentang perasaan ini.
Jujur saja.
Kembali ketatapan itu, tatapan
yang memelukku dalam diam. Aku merasakannya tiap kehangatan yang keluar dari
siluet bola matamu. Memang hanya berangsur dalam hitungan detik, tapi perasaan
ini mengalir selamanya. Rumit sekali rindu ini terukir.
Begitulah arti tatapan matamu
bagiku, penting. Seperti memeluk setiap jari jemarimu. Seperti merangkaikan
tiap kata saat bertemu denganmu. Dan yang terpenting, seperti khayalan ku
menjadi nyata. Tatapan itu terus berputar dan berotasi didalam simpuls otakku.
Membuat sipemikir yaitu aku, keringkuhan menenggelamkan diri menutupi rona
merah yang kini tercetak jelas diwajahku. Indahnya merangkai rindu dengan
kata-kata.
Namun, sesuatu pasti berakhir.
Tak ada yang bersifat selamanya didunia ini. Selamanya hanya kata yang menjadi
kata penyempurna didalam dongeng-dongeng. Aku kembali pada statusku terdahulu
sebelum keputusan pahit itu kau ucapkan. Kini aku tersadar dengan tatapanku,
mungkin lebih tepatnya aku tersadar saat tatapanmu menyadarkanku. Tatapan hampa
tanpa arti, kosong . Rasanya seperti mati namun kau masih memiliki nyawa. Tak
ada guna bukan? Ya seperti itulah...
Perasaan ini kembali menjadi
bulan-bulanan logika, tersudut terpojok dan tak memiliki rengkuhan kuat. Rapuh.
Begitu rapuhnya seperti gelembung sabun yang menunggu waktunya pecah dan, tak
ada lagi yang bisa diharapkan. Begitu berartinyakah balasan untuk diriku?
Kurasa tidak. Ada atau tidak adanya dirimu kurasa tidak berpengaruh sedikitpun
untukku. Tapi, itu sangat berarti bagi hatiku.
Selama ini hatiku sudah bekerja terlalu
berat untuk menghapus semua memori tentangmu, sudah hampir berhasil namun
gagal, gagal, dan gagal. Lagi-lagi tak ada guna bukan? Mati segan hidup pun tak
mau. Begitu tersindirnya aku ketika mendengar peribahasa itu terucap dan
terpogram oleh diriku sendiri. Begitu rumitnya cinta ketika bertabrakan dengan
rindu, tak ada temu, tak ada balasan. Hanya benci yang memutar.