Selasa, 28 Agustus 2012

Kecewa...


Sebegitu mudahkah kau menilai seluruh jerih payahku, ini tentang perasaan. Setidaknya hargailah apa yang telah kubuat untukmu meskupin ini terlihat mudah. Tapi apapun yang kulakukan untukmu tak pernah terlihat mudah, semua sulit. Sulit bagiku membuang waktu dengan sia-sia menunggu kau yang tak ada sedikitpun penjelasannya.

Apa dimatamu aku selalu melakukan hal yang buruk? Apa semua hal yang ku lakukan tak pernah ada sedikit harganya dimatamu? Seburuk itukah kelakuanku dimatamu? Aku ingin tau dari mana cara pandangmu melihatku? Atau mungkin penglihatanmu saja yang terlalu istimewa sampai tidak bisa melihat sedikit pun pengorbananku..
Kau tidak pernah menghargai sedikitpun usahaku karena kau tidak pernah menganggap ku ada. Sedikitpun kau tak pernah melihatku ada diposisi yang benar, kau selalu mengetahui posisiku disaat aku salah. Sedikit saja aku melakukan kesalahan kau selalu mengatakan “Aku kecewa”, bukankah wajar seorang manusia melakukan kesalahan? Aku seorang manusia dan bukan malaikat ataupun Tuhan yang sempurna yang tidak melakukan kesalahan sedikitpun. Dan bukannya aku sudah sering meminta maaf atas kesalahanku, dan bukankah hal itu cukup sepele untuk dipermasalahkan. Kurasa memang kau yang ingin mencari setiap seluk-beluk keburukanku agar kau bisa menyalahkanku terus menerus, dan kesalahan itu bisa kau gunakan sebagai alasan untuk menjauhi ku.

Seberapa besar kekecewaanmu padaku tak akan mampu menandingi besarnya rasa tulusku padamu, tak mampu menandingi seberapa besar harapanku padamu. Kau pikir aku tak pernah kecewa pada mu? Aku selalu kecewa padamu, selalu! Disaat harapanku tak dianggap, aku kecewa. Disaat mimpiku tak pernah kau rangkul, aku kecewa. Disaat kau tak pernah melihat pengorbananku, aku kecewa. Kecewa, kecewa, dan kecewa. Tapi, kau segalanya bagiku kau harapan terindah ku walaupun kosong, kau mimpi-mimpi terpendamku.. apa iya aku harus terus membicarakan kekecewaan padamu? Kurasa itu tak akan selesai lebih baik membungkamnya daripada harus mengatakan yang sejujurnya.
Menurutku melihat kau saja rasa kecewa ku bisa terhapuskan, jadi untuk apa aku harus terus membicarakan kekecewaan kalau kau tetap bisa ku lihat. Pikirku, mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan sehingga aku selalu salah dimatamu. Atau mungkin aku yang terlalu bodoh, hal seperti itu selalu membuatmu kecewa terus-menerus. Aku yang terlalu buta sehingga tak pernah melihat keinginan kau yang sebenernya, otakku yang terlalu lamban berfikir dalam menangkap sinyal anganmu. Dan mungkin aku yang terlalu telat dalam memahamimu.

Namun sepertinya kini ku sadar, apapun yang aku lakukan tak akan ada artinya dihadapan mu dikedua tatapan bola matamu. Kau selalu mencari setiap kesalahan dari diriku, entah karena hal apa. Mungkin karena kau tak mengerti bagaimana posisiku, atau mungkin karena memang kau ingin menjadikan setiap kesalahanku sebagai umpan. aku akan tetap bertahan dalam keadaan ini dalam diam. Kini aku sudah menyerah atas dirimu, silakan kau pergi meneruskan hidupmu dengan siapapun aku akan melihatnya dengan bahagia. Misalnya pun nanti kau lupa padaku akupun tetap bahagia, karena jelas disini aku masih mengingatmu.

Terkadang jika kita terlalu mencintai seseorang
kita akan membiarkannya selalu salah paham,
daripada menceritakan kenyataan yang terjadi
Karena itu akan semakin membuatnya terluka.

Jumat, 24 Agustus 2012

Memilih tanpa Pilihan


Melupakannya adalah bagian tersulit dalam mencintai. Melupakan, menghindari, membuang perasaan ini jauh-jauh itu adalah paket kesulitan yang tak pernah bisa ku gapai. Kalau aku boleh memilih lebih baik aku tak bernapas lagi dibandingkan harus meninggalkan perasaan ini tanpa ujung yang jelas. Percuma juga aku berusaha dan berupaya sekuat tenaga, disaat-saat melupakanmu tinggal satu bagian lagi tiba-tiba dengan senyummu yang indah itu kau datang kau merangkulku kau membicarakan setiap alasan kenapa kau bisa tersenyum.
Hatiku meradang, entah sudah berapa lama luka ini tak pernah sembuh aku pun sudah lupa waktunya. Kau yang tak pernah sadar dengan hatiku, kau yang dengan mudahnya mengatakan kau rindu aku kau sayang padaku kau melarangku untuk pergi kemanapun tanpa kau tau hal itu sudah menjadi janji bagi diriku sendiri.
 
Tapi kenapa disetiap aku membutuhkanmu, kau tak pernah ada. Disaat aku sangat ingin bertemu denganmu kau selalu sedang bersama orang lain. Semua yang kau inginkan selalu aku penuhi dengan cepatnya, semua..meskipun aku tidak bisa memenuhinya tapi aku berusaha untuk menggapainya. Sebaliknya, kau. Kau yang selalu terlihat membanggakan dihadapanku, kau tak pernah sedikit pun membahagiakan aku dan memenuhi satu keinginanku.
Kita memang sangat bertolak belakang, mungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama dan mungkin ini hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan terhadapmu. Terhadap dirimu yang kini datang lagi kedalam hidupku.

“kangen.” Ucapanmu tadi siang cukup membuatku tercengang begitu hebatnya. Memang ini sudah kau ucapkan berkali-kali dan memang seharusnya aku tak perlu tercengang untuk kesekian kalinya. Tapi tak bisa. Kini pikiranku berputar ke beberapa jam yang lalu.
“lo nggak mau bales kangen gue?” tanyanya begitu polos sambil memandangku. “Hah? Bales kangen lo? Hahaha.” Aku sangat bingung terhadapnya, kenapa dia sangat mudah memojokkan aku dan perasaanku. Ku rasa dia tak bodoh pasti dia tau perasaanku selama ini, pasti dia mengerti maksud tawaku.
“Ternyata bener, lo emang nggak pernah percaya sama gue.” Ucapnya terakhir kali sambil bangkit dari sampingku dan pergi meninggalkan aku begitu saja tanpa ada sedikitpun penjelasan.
Dan kali ini, aku merasakan sakit yang menusuk jantungku lagi. Ternyata usahaku untuk menghindarinya tidak berhasil lagi kali ini. Dia yang membuat semua ini menjadi gagal, aku tak bisa melihat sosok mata teduh itu lagi. kurasa aku akan terus merasakan gagal kalau aku terus berada di dekatnya atau pun berada disatu lingkungan bersamanya.
Aku harus menghindarinya.....

Dan akhirnya, aku tersadar semakin lama aku berusaha untuk mengindarinya semakin lama juga aku akan bersamanya. Aku semakin mengerti kenapa waktu selalu mempertemukan aku denganmu, kenapa waktu seperti melarang aku denganmu berpisah. Sebenernya itu bukan kehendak waktu tapi usahaku lah yang membuat semua seperti bukan keinginanku. Aku sendiri yang selalu mempertemukan diri denganmu.
Aku tidak akan berusaha apapun untuk menjauhi dirimu, aku akan bersikap biasa saja. Aku akan mengalir seperti perahu yang kehilangan arah ditengah lautan, aku akan menjadi kertas kosong yang akan menunggu si penulis menorehkan tinta dan membentuk garis diatas kertas itu, dan aku akan menjadi kain kanvas kosong yang menunggu sang seniman menorehkan cat warnanya untuk memberi kehidupan bagi lukisannya.

Terbiasa. Aku akan mencoba terbiasa, terbiasa hidup terombang-ambing karena perasaan ini sehingga nantinya hatiku akan merasakan kenetralan sendiri. Semoga saja disaat aku terbiasa seperti ini tingkat rasa sayangku padamu belum berkurang sedikitpun. Dan semoga saja harapanku belum berubah sedikit pun.

Selasa, 21 Agustus 2012

Rapuh


Berulang kali kau menarik hati, perasaan, dan logika ku kearah mimpi yang tak mampu ku lukiskan dengan kata-kata tapi berulang kali juga kau mengulur setiap harapan yang telah ku buat. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Apa yang kau harapkan? Dan apa yang kau impikan atas diriku?

Aku yang sudah sangat rapuh atas perlakuanmu, aku yang sudah sangat hancur atas sikap dan perhatianmu. Masihkah kau mengharapkan diriku? Apa kau bahagia melihatku dengan luka seperti ini? Apa kau bahagia melihatku dengan tangis seperti ini? Atau memang ini yang kau harapkan atas aku?

Kau jadikan aku apa sebenarnya dalam hidupmu, kenapa sebegitu mudahnya kau memutar balikan setiap perasaanku? Dan kenapa aku tidak pernah bisa mempertahankan perasaan ku sendiri dari orang seperti mu?
Apa mungkin ini yang disebut cinta? Tapi, kenapa aku selalu merasakan hal pahit?

Berharap padahal tak diharapkan. Rindu yang tak kunjung terbalas. Perasaan yang terombang-ombing tanpa kejelasan sedikitpun. Setiap aku menangis kau selalu tersenyum. Dan disaat aku berduka kau selalu bahagia.
Dengan mudahnya kau melakukan hal itu tanpa memperdulikan sedikitpun perasaanku. Kini aku sudah sangat lelah atas perasaan ini, tak ada yang bisa dipertahankan lagi atas ini. Perasaan ini sudah cukup mempermalukan diriku, dan hati ini...kepingannya sudah hancur tak berbekas sedikitpun.

Aku hanya bisa menguatkan hati ini, mencoba membentuk titik baru untuk garis baru. Melupakan dan membuang setiap harapan yang masih tersisa, tanpamu.

Selasa, 14 Agustus 2012

Tautan hatiku

Kamu mengajari aku untuk meninggalkan sesuatu yang sangat aku sayangi. Kamu mengajari aku untuk membuang sesuatu yang sangat aku butuhkan. Dan, kamu mengajari aku menyimpan rasa sakit yang tidak akan pernah terobati.

Lebih dari semuanya telah aku relakan kepadamu. Tapi kenapa selalu air mata yang kau sisakan untuk ku? Tak cukup kah engkau mengikis habis hatiku untuk mencintaimu tanpa ada pembalasan? Tak cukup kah engaku memporak-porandakan hati ini hingga tak tersisa satu kepingan pun untuk ku jaga? Ini hatiku, ini milikku tapi kenapa dengan mudahnya kau menghancurkannya?

Masih kah engaku mengatakan kata-kata egois kepadaku setelah engkau melihat keadaan sebenarnya yang terjadi padaku?
Aku bukan wanita munafik yang meminta belas kasihan darimu. Aku hanya membutuhkan dirimu dan pundakmu saja dalam menemaniku. Menemani hatiku, jiwaku, dan kebahagiaan ku yang mungkin masih tersisa sedikit disini.
Aku, kini sudah tak berdaya. Semua yang kumiliki telah direnggut oleh perasaan ini, perasaan tak berbalas. Perasaan yang tak kunjung membuahkan hasil, perasaan yang sampai kapan pun hanya menghasilkan kehampaan dan jauh dari kenyataan.
Mungkin aku sudah terlalu tak waras, disetiap rindu yang kau torehkan aku hanya bisa memejamkan mata. Dan, tentu saja senyuman manis itu akan selalu ada dan muncul jelas didepan kedua bola mataku. Senyuman terindah darimu.
Aku mampu hidup tanpa bayang-bayangmu, aku mampu bernapas tanpa harus melihat sosokmu, dan aku mampu tersenyum tanpa harus ada kau. Tapi, hatiku tak mampu melakukan hal itu dan logika ku selalu kalah dalam hal ini. Mungkin ini karena pikiranku sudah terkunci oleh perasaan terdalam ini.
Mungkin benar, hanya kekuatan doa yang benar-benar bisa membuat kita bersama. Tidak seperti dulu, karena kita dulu tidak pernah bersama. Aku hanya menjadi persinggahan untukmu, persinggahan yang tak istimewa dan khusus untuk dirimu. Seperti benda yang tak layak pakai aku hanya mampu menjadi yang kedua bagi hatimu dan dirimu.
Mencintaimu membuat aku berkarya atas apapun, mencintaimu membuat aku terdiam dan hening dalam setiap keadaan, dan mencintaimu membuat aku lebih dekat kepada Tuhan. Aku beruntung bisa mencintaimu meskipun tak ada timbal balik atas perasaan itu sedikit pun.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Sepenggal Kisah Bersamamu (2)


Warna matanya, kebaikan hatinya, dan kini senyumnya benar-benar membuat aku masuk kedalam dirinya. Apa ini yang dinamakan mencintai seseorang pada pandangan pertama? Sepertinya iya. Kini senyumku benar-benar mengembang begitu hebatnya, ternyata aku beruntung kali ini aku tidak sesial seperti apa yang aku pikirkan. Kini kereta yang aku tumpangi berjalan begitu cepat dan waktu pun berlalu begitu cepat pula, kini malam telah menjadi larut dan telah menjelma menjadi pagi. Pukul 03.00 aku mengobrol dengan Ridwan begitu lamanya, diantara teman gerbong yang sudah tertidur hanya kami yang masih bercengkrama sampai sekarang.
Mulai dari membicarakan kebiasaan, sekolah, dan umur. Ternyata aku dan dia hanya terpaut satu tahun. Setelah lelah membicarakan diri masing-masing akhirnya aku bisa tertidur pulas disampingnya yang mungkin masih terjaga. Entah apa yang terjadi tapi aku merasakan kepalaku menyentuh sesuatu sepertinya itu....pundaknya!
Akupun tersadar dan cepat-cepat berpikir untuk membetulkan kembali posisiku, namun ku urungkan niatku itu. Karena, ia pun tertidur dengan pulasnya tanpa sadar kepalanya menyentuh kepalaku. Rambut kami pun bertaut. Untung saja gravitasi kesadaranku atas hal ini tak membangunkannya dan menarik alam sadarnya untuk terbangun. Mungkin aku terlalu licik atas hal ini, tapi jujur saja hal ini terlalu indah untuk disadarkan.
Akupun memulai untuk tidur kembali, dan mencoba untuk tidak menyadarkan diri supaya ini terlihat seperti takdir yang murni terjadi dan tak ada unsur kebohongan. Waktu menunjuk kan pukul 06.30 ponsel ku berdering, keluarga ku yang telat mengkhawatirkan aku bertanya apakah aku baik-baik saja. Mereka seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar telat mempedulikan korbannya. Saat aku tersadar setelah ponselku tertutup, aku kaget ternyata Ridwan laki-laki yang duduk bersama ku semalam menghilang entah kemana. Apa mungkin aku melakukan kesalahan sampai ia pergi begitu saja. Namun sepertinya tidak, setelah aku melihatnya berjalan keluar dari arah toilet.
Tapi ada apa dengan ku? Aku baru saja mengenalnya dia baik atau jahat aku pun tak tau yang sebenarnya. Namun ada satu hal yang benar-benar aku tau tatapan mata teduhnya itu benar-benar jujur dan benar, aku yakin atas hal itu. Aku terdiam dan selalu memikirkan hal ini, cepat atau lambat aku akan tersadar kalau ini hanya pertemuan sementara da tak akan pernah terulang lagi kecuali takdir yang benar-benar mempertemukan kami.
“Sebentar lagi sampai Jakarta kamu tidak siap-siap?” tanyaku sambil melempar senyum terhangatnya yang selalu terbentuk dan tak pernah berubah garisnya. “Ah, cepet banget. Emang ini udah dimana?” tanyaku polos padanya. Jujur saja semenjak masuk kedalam kereta ini aku tak tau sudah berapa banyak stasiun yang aku lewati, untung saja disamping ku ini bukan pembohong dan syukurlah sampai sekarang buktinya aku masih selamat. “Jadi kamu bener-bener ngga tau daerah sini ya, ini di Cikarang,” tawanya yang tulus terlontar kearahku. “Ohya tadi aku pesen Hot Lemon Tea, kamu mau?” tanyanya lagi kini kearahku. “Nggak usah, makasih.” Jawabku kali ini cukup judes terdengarnya, atau mungkin ini karena sebentar lagi aku akan berpisah dengannya dan aku benar-benar membenci takdir ini.
Sepertinya aku benar-benar harus tersadar kalau kali ini aku dan dia harus terpisah oleh kenyataan, tepatnya hanya aku. Karena, dia tidak mungkin memikirkan hal yang sama seperti aku. Aku harus mensugesti diriku sendiri, kalau dia bukan siapa-siapa dia hanya sekedar orang yang baik yang telah memberiku tempat duduk satu malam. Aku pun sedikit terbangun dan mulai mencari kursi kosong, karena sudah banyak penumpang yang mulai bergantian turun dipemberhentian tiap stasiun. Akhirnya! Aku menemukan satu kursi kosong.
“Permisi,” kataku sopan padanya yang sedang fokus dengan gadget ditangan kirinya. “Ehiya kenpa?” tanyanya. “Disana ada kursi kosong, bolehkan kalo saya pindah? Ya biar lebih dekat sama pintu gerbong aja jadi gampang keluarnya.” Ucapku benar-benar jelas sopan aku takut menyinggungnya yang telah baik hati padaku. “Loh? Kan nanti turunnya bisa bareng saya. Saya bantuin deh,” tolaknya. “Jangan..udah kebanyakan ngebantu. Maaf ya. Makasih juga atas tempat duduknya.” Kini aku benar-benar terbangun dan mulai memindahkan barang-barang ku ke kursi kosong depan. Mungkin seperti ini lebih nyaman. Mungkin aku tidak akan menyukainya lagi kalau aku pindah disini.
Entah kenapa, kini aku sudah turun dari kereta dan aku sudah menaiki taksi menuju rumahku. Aku merasa harapanku hancur lebur saat tadi kereta memberhentikan kelajuannya di stasiun Jatinegara dan aku terpisah dengannya. Dengan senyumnya, sorot mata teduhnya, dan mata abu-abunya. Sebenarnya aku ingin lebih dari sebuah perkenalan, tapi untuk apa? Aku takut kalau dia tidak sebaik pertemuan pertamanya.
Satu minggu sudah aku menyelesaikan urusan sekolahku di Jakarta, namun kenapa aku tetap mengingatnya. Aku harus me-refresh otak ku dan mulai melupakan segalanya, itu hanya keberuntungan semata dan tak akan terulang lagi. Takdirnya memang berbeda dengan harapan jadi sadarlah, sugesti itu cukup menguatkan aku. Sampai akhirnya kini aku berjalan dan mengemudikan mobil sampai pada kafe Hema dijalan Kemang Pratama Bekasi. Aku menikmati suasana sendiri disini, dan sugesti itu sepertinya berhasil.
Berhasil sampai pada akhirnya, ada seseorang memanggil namaku berulang kali. Sekilas aku mengingat wajahnya tapi aku benar-benar lupa namanya. Setelah mengingat-ingat dengan keras, aku sadar. Dia, Ridwan. Aku tak menyangka ternyata keajaiban selalu datang disaat keputus asaan mulai melanda. Aku bingng dengan takdir ini aku bertemu lagi dengannya. Si tatapan teduh, si bola mata abu-abu. Dan kini aku telah berteman dekat dengannya, mungkin lebih J

Selasa, 07 Agustus 2012

Sepenggal kisah bersamamu (1)


Kediri mengingatkan aku tentang pertemuan yang selalu menjadi pertemuan termanis dalam sejarah kisah hidupku. Tercatat baik-baik dan tertata dengan rapi didalam memori otak-ku. Entah saat itu apa yang sedang aku pikirkan sampai-sampai aku bisa bertemu dengannya “si sorot abu-abu” aku memanggilnya dengan sebutan itu, meskipun aku tahu namanya tapi aku lebih menyukainya dengan memanggil dia si-sorot-abu-abu.
Baru kali ini aku mencoba untuk pergi jauh sendirian, saat aku datang ke Kediri aku dititipkan bersama dengan keluarga jauh dari ayah untuk berangkatnya. Tapi, pada saat pulang ternyata kepulanganku dipercepat dari tanggal yang sudah ditetapkan.
Persiapanku hancur total, ini semua karena keadaan di Jakarta tidak memungkinkan kalau aku tidak pulang sekarang. Mood hancur lebur, diperjalan menuju stasiun aku selalu menggerutu dan mengomel sendiri. Sesampainya distasiun aku mencoba merangkul suasana ku tengok kanan-kiri. Sayangnya ini bukan kotaku sejauh apapun mata memandang aku tak akan melihat kawan yang aku kenal.
Sesekali aku melirik kearah karcis yang ku genggam, Senja Kediri Gerbong 3 nomor duduk 11b. Semoga saja ini karcis mutlak jadi tempat duduk tidak usah ditukar-tukar, desahku dalam hati. Setengah jam aku menunggu kedatangan kereta akhirnya kini kereta itu melaju cepat dan berhenti dihadapan ku. Susah payah aku menaiki hingga bisa masuk kedalam gerbong yang kutuju.Sontak mataku terbelalak, tempatku ada yang mengisi. Seorang ibu berpipi bakpau dengan badan yang cukup mendramatisir, mukanya pun terlihat sangar. “permisi..ini tempat duduk saya bu. Boleh saya duduk?” tanyaku dengan nada sopan. Ibu-ibu itu membuka matanya pelan, dan akhirnya ia tersadar dari tidur sementaranya, “aduh adek maaf ya disini tempat duduknya bisa ditukar-tukar saya mau duduk dengan suami saya. Adek duduk ditempat kosong lain saja” kata ibu-ibu menjengkelkan itu.
Kepalaku sedikit berputar mencari tempat kosong, dan hampir semua bangku digerbong ini terisi. “astaga tuhaaan!! Apa ini akhir hidupku!” ucapku kesal dalam hati. “tapi bu, maaf disini tempatnya sudah penuh. Mending ibu saja yang cari, kan ini tempat saya” jawabanku atas pernyataannya yang seharusnya tidak perlu dijawab dan kini menimbulkan konflik. Finally, bukan sang ibu-ibu judes yang menjawab melainkan seorang bapak-bapak yang menyeka kalimatku, mungkin suaminya “dek, kan istri saya sudah duduk duluan. Sini saya carikan tempat duduk, dasar anak cewek duduk aja manja.” Ketus bapak-bapak itu.
“APAA? Maaf pak saya bukan anak kecil. Buktinya saya mengerti mana hak milik sendiri dan milik orang lain,” dengan segala keberanian aku mengungkapkan kalimat itu dan kini emosiku memuncak sampai akhirnya kalimat akhirku terdengar jelas sangat bodoh, “berdiri sampai Jakarta juga nggak salah kok, seumur hidup sekali!” bentakku sambil memutar badan. Kini kereta sudah mulai melaju, dan semua orang yang ada didalam gerbong 3 melihatku dengan tatapan aneh, entah iba atau mengucap kalimat negatif. “maaf mbak, duduk disamping sini aja. Kosong kok” ucap seseorang sambil menepuk pundak kanan ku pelan.
Tanpa pikir panjang aku langsung meletakkan koper yang aku bawa keatas tempat seperti penitipan tas, dan tanpa mengiyakan dahulu aku langsung terduduk ditempat lelaki baik tadi terduduk. Aku sudah memperhatikannya daritadi, tempat duduk kosong disampingnya selalu membuat aku berharap kalau saja dia bisa membaginya. Dan kini benar saja aku telah mendudukinya. Earphone merah yang cukup besar yang menutupi indra pendengarannya kini sudah diletakkan diatas meja didepan kursi kereta. Aku yang sama sekali tidak mengenalnya hanya bisa diam dan mencoba untuk mengalihkan wajah agar tak penasaran dengan wajah si baik hati ini.
Kini rasa penasaranku benar-benar memuncak, aku ingin tahu siapa orang baik ini persetan masalah dia jahat nantinya atau tidak atau sepertinya aku yang jahat karena aku tidak mengucapkan rasa terima kasih padanya padahal ia sudah baik hati memberikan bantuan. Belum aku bertanya dia sudah memulai pembicaraan denganku, suaranya memang selalu terdengar lembut apakah orang baik selalu mempunyai suara selembut ini? Tanyaku pada diriku sendiri.
“Maaf mbak, darimana? Tadi saya denger lagi rebutan tempat duduk sama ibu-ibu itu ya?” tanyanya membuka pembicaraan. “Yah bukan rebutan lagi kali udah hampir tarik-tarikan bangku kereta. Saya dari Kediri mau ke Jakarta. Sendirinya?” aku balik bertanya kepadanya. “Astaga orang bodoh juga tau kalau aku dari Kediri, buat apa aku dari Bali tapi kalau aku ke stasiun Kediri” makiku dalam hati. “Sama tapi mau ke Bogor. Masih SMA ya mbak?” tanyanya lagi. “Iya..kok tau? Sendirinya pasti udah kuliah atau kerja ya?” tanyaku lugu sambil senyum-senyum, ya lumayanlah kalau punya temen disini toh akukan sendirian di kereta jadi kalau ada apa-apa bisa minta tolong dia. “Enggak mbak, udah lulus baru aja lulus. Tau, soalnya badannya masih kecil. Berani ya jalan-jalan sendiri sejauh ini?” ledeknya. Jujur saat terjadi hal ini aku menyipitkan mata dan mencoba untuk meredam emosi atas perkataannya yang bilang kalau aku adalah anak kecil, memang sebesar apa badan anak yang sudah kuliahan? Sombongnya..
“Masih kecil?” ucapku sedikit ketus sambil mengeluarkan tawa tak ikhlas. “Kayanya badan manusia emang segede ini deh, emang mau gede gimana lagi? Kalo gede mah gajah noh.” Lanjut ku. “Ohiya gede mah gajah, ngomong-ngomong siapa mbak namanya? Daritadi ngobrol ngalor-ngidul tapi nggak tau namanya.” Perlu ya tau nama saya! Setelah nyindir badan saya! Sabar...sabar...sopan dikit sama orang yag ngasih tempat duduk ke diri kamu, nanti kalo ngajak berantem bisa didepak. “Nama ya? Regi..kamu?” tanyaku balik. “Ridwan.” Kini dia menjawab sambil mendongakan wajahnya dan melepaskan pandangannya dari gadget modernnya. Astaga! Matanya, bola matanya warna abu-abu. Warna bola mata yang paling aku sukai dan astaga senyumnya! Kalau ini bukan ditempat umum aku akan berteriak histeris karena ini adalah senyum terindah yang pernah aku lihat. Aku benar-benar lupa dengan ejekannya dan kini aku jatuh cinta pada senyum dan bola matanya. Sempurna wajahnya pun wajah laki-laki ideal zaman sekarang, aku benar terpikat pada cowok baik hati si abu-abu ini.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Sajak untukmu...

Dicintai oleh seorang puitis memang indah, walaupun tak pernah ada namamu dalam sajaknya tapi sosokmu selalu diceritakan dengan sempurna. Tetapi, sayangnya aku bukan seorang puitis. Bagaimana kalau kutipan diatas berlaku terbalik?
Aku yang seorang biasa mencintaimu yang seorang puitis? Masih indahkah perasaanku? Namaku tak pernah ada dalam sajaknya, sosokku pun begitu tak pernah ada dalam setiap perkataan sajaknya. Padahal aku selalu berharap sosok yang selama ini kau panggil dengan sebutan manis itu adalah aku.

Kurasa harapan ku terlalu tinggi, sangat tinggi. Sampai harapan ini sudah berkali-kali melempar dan menjatuhkan aku ke dunia yang hampa, yang membuatku merasa sendiri dan sepi. Setiap sajak yang kau tulis, walaupun itu bukan untuk aku dan aku sangat yakin akan hal itu tetapi anehnya aku akan menjadi penggemar dari setiap sajak itu dan aku selalu berusaha untuk menjadi orang pertama yang dapat membaca setiap sajakmu.
Kurasa aku sangat menyedihkan, menunggu sesuatu yang sama sekali tak mengetahui usahaku. Kurasa aku sangat bodoh, selalu berlomba untuk menempati tempat pertama padahal sudah sangat jelas tempat itu bukanlah milik ku.

Aku sadar akan tingkah laku menyedihkan dan bodoh yang aku buat tapi, aku bahagia melakukan hal itu. Aku merasa sempurna saat hal yang aku lakukan berjalan lancar meskipun lancarnya jalanku tak membuahkan hasil kalau kau-bisa-mencintaiku-juga.
Bukankah hal yang dinilai dalam mencintai seseorang adalah usahanya? Hasil hanya milik Takdir dan Tuhan. Dan aku percaya Tuhan itu adil dalam memberi hasil pada umatnya :)