Warna matanya, kebaikan hatinya, dan kini senyumnya benar-benar membuat
aku masuk kedalam dirinya. Apa ini yang dinamakan mencintai seseorang pada
pandangan pertama? Sepertinya iya. Kini senyumku benar-benar mengembang begitu
hebatnya, ternyata aku beruntung kali ini aku tidak sesial seperti apa yang aku
pikirkan. Kini kereta yang aku tumpangi berjalan begitu cepat dan waktu pun
berlalu begitu cepat pula, kini malam telah menjadi larut dan telah menjelma
menjadi pagi. Pukul 03.00 aku mengobrol dengan Ridwan begitu lamanya, diantara
teman gerbong yang sudah tertidur hanya kami yang masih bercengkrama sampai
sekarang.
Mulai dari membicarakan kebiasaan, sekolah, dan umur. Ternyata aku dan
dia hanya terpaut satu tahun. Setelah lelah membicarakan diri masing-masing
akhirnya aku bisa tertidur pulas disampingnya yang mungkin masih terjaga. Entah
apa yang terjadi tapi aku merasakan kepalaku menyentuh sesuatu sepertinya
itu....pundaknya!
Akupun tersadar dan cepat-cepat berpikir untuk membetulkan kembali
posisiku, namun ku urungkan niatku itu. Karena, ia pun tertidur dengan pulasnya
tanpa sadar kepalanya menyentuh kepalaku. Rambut kami pun bertaut. Untung saja
gravitasi kesadaranku atas hal ini tak membangunkannya dan menarik alam
sadarnya untuk terbangun. Mungkin aku terlalu licik atas hal ini, tapi jujur
saja hal ini terlalu indah untuk disadarkan.
Akupun memulai untuk tidur kembali, dan mencoba untuk tidak menyadarkan
diri supaya ini terlihat seperti takdir yang murni terjadi dan tak ada unsur
kebohongan. Waktu menunjuk kan pukul 06.30 ponsel ku berdering, keluarga ku
yang telat mengkhawatirkan aku bertanya apakah aku baik-baik saja. Mereka
seperti pahlawan kesiangan yang benar-benar telat mempedulikan korbannya. Saat
aku tersadar setelah ponselku tertutup, aku kaget ternyata Ridwan laki-laki
yang duduk bersama ku semalam menghilang entah kemana. Apa mungkin aku
melakukan kesalahan sampai ia pergi begitu saja. Namun sepertinya tidak,
setelah aku melihatnya berjalan keluar dari arah toilet.
Tapi ada apa dengan ku? Aku baru saja mengenalnya dia baik atau jahat aku
pun tak tau yang sebenarnya. Namun ada satu hal yang benar-benar aku tau
tatapan mata teduhnya itu benar-benar jujur dan benar, aku yakin atas hal itu.
Aku terdiam dan selalu memikirkan hal ini, cepat atau lambat aku akan tersadar
kalau ini hanya pertemuan sementara da tak akan pernah terulang lagi kecuali
takdir yang benar-benar mempertemukan kami.
“Sebentar lagi sampai Jakarta kamu tidak siap-siap?” tanyaku sambil melempar
senyum terhangatnya yang selalu terbentuk dan tak pernah berubah garisnya. “Ah,
cepet banget. Emang ini udah dimana?” tanyaku polos padanya. Jujur saja
semenjak masuk kedalam kereta ini aku tak tau sudah berapa banyak stasiun yang
aku lewati, untung saja disamping ku ini bukan pembohong dan syukurlah sampai
sekarang buktinya aku masih selamat. “Jadi kamu bener-bener ngga tau daerah
sini ya, ini di Cikarang,” tawanya yang tulus terlontar kearahku. “Ohya tadi
aku pesen Hot Lemon Tea, kamu mau?” tanyanya lagi kini kearahku. “Nggak usah,
makasih.” Jawabku kali ini cukup judes terdengarnya, atau mungkin ini karena
sebentar lagi aku akan berpisah dengannya dan aku benar-benar membenci takdir
ini.
Sepertinya aku benar-benar harus tersadar kalau kali ini aku dan dia
harus terpisah oleh kenyataan, tepatnya hanya aku. Karena, dia tidak mungkin
memikirkan hal yang sama seperti aku. Aku harus mensugesti diriku sendiri,
kalau dia bukan siapa-siapa dia hanya sekedar orang yang baik yang telah
memberiku tempat duduk satu malam. Aku pun sedikit terbangun dan mulai mencari
kursi kosong, karena sudah banyak penumpang yang mulai bergantian turun
dipemberhentian tiap stasiun. Akhirnya! Aku menemukan satu kursi kosong.
“Permisi,” kataku sopan padanya yang sedang fokus dengan gadget ditangan
kirinya. “Ehiya kenpa?” tanyanya. “Disana ada kursi kosong, bolehkan kalo saya
pindah? Ya biar lebih dekat sama pintu gerbong aja jadi gampang keluarnya.”
Ucapku benar-benar jelas sopan aku takut menyinggungnya yang telah baik hati
padaku. “Loh? Kan nanti turunnya bisa bareng saya. Saya bantuin deh,” tolaknya.
“Jangan..udah kebanyakan ngebantu. Maaf ya. Makasih juga atas tempat duduknya.”
Kini aku benar-benar terbangun dan mulai memindahkan barang-barang ku ke kursi
kosong depan. Mungkin seperti ini lebih nyaman. Mungkin aku tidak akan
menyukainya lagi kalau aku pindah disini.
Entah kenapa, kini aku sudah turun dari kereta dan aku sudah menaiki
taksi menuju rumahku. Aku merasa harapanku hancur lebur saat tadi kereta
memberhentikan kelajuannya di stasiun Jatinegara dan aku terpisah dengannya.
Dengan senyumnya, sorot mata teduhnya, dan mata abu-abunya. Sebenarnya aku
ingin lebih dari sebuah perkenalan, tapi untuk apa? Aku takut kalau dia tidak
sebaik pertemuan pertamanya.
Satu minggu sudah aku menyelesaikan urusan sekolahku di Jakarta, namun
kenapa aku tetap mengingatnya. Aku harus me-refresh otak ku dan mulai melupakan
segalanya, itu hanya keberuntungan semata dan tak akan terulang lagi. Takdirnya
memang berbeda dengan harapan jadi sadarlah, sugesti itu cukup menguatkan aku.
Sampai akhirnya kini aku berjalan dan mengemudikan mobil sampai pada kafe Hema
dijalan Kemang Pratama Bekasi. Aku menikmati suasana sendiri disini, dan
sugesti itu sepertinya berhasil.
Berhasil sampai pada akhirnya, ada seseorang
memanggil namaku berulang kali. Sekilas aku mengingat wajahnya tapi aku
benar-benar lupa namanya. Setelah mengingat-ingat dengan keras, aku sadar. Dia,
Ridwan. Aku tak menyangka ternyata keajaiban selalu datang disaat keputus asaan
mulai melanda. Aku bingng dengan takdir ini aku bertemu lagi dengannya. Si
tatapan teduh, si bola mata abu-abu. Dan kini aku telah berteman dekat
dengannya, mungkin lebih J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar